TEORI BERMAIN DAN PERKEMBANGAN ANAK
USIA DINI BERDASARKAN KONSEP BARAT, TIMUR DAN AGAMA
Banyak pakar pendidikan di Indonesia yang mempunyai filosofi
tentang pendidikan anak usia dini, diantaranya Ki Hadjar Dewantara, KH. Hasyim
Asy’arie, KH. Ahmad Dahlan, HOS Cokroaminoto. Namun dari sekian banyak pakar
teresbut, pemikiran Ki Hadjar Dewantara dipandang lebih representatif, oleh
karena itu pembahasan di sini hanya mengemukanan pemikiran Ki Hadjar Dewantara
tentang pendidikan anak usia dini. Ki Hadjar Dewantara adalah pionir Pendidikan
Nasional yang berasal dari keluarga bangsawan Yogyakarta. Beliau lahir pada
tanggal 2 Mei 1889 dengan nama RM. Suwardi Suryaningrat, setelah berumur 40
tahun tepatnya tanggal 25 Februari 1928, ia berganti nama dengan sebutan Ki
Hadjar Dewantara. Tentang pendidikan anak usia dini Ki Hadjar Dewantara
memandang bahwa bermain bagi anak merupakan kodrat alam yang memiliki pembawaan
masing-masing serta kemerdekaan untuk berbuat serta mengatur dirinya sendiri.
Guru
TK hanya boleh memberi bantuan jika anak menghadapi hambatan yang cukup berat
dan tidak dapat diselesaikan. Hal tersebut merupakan cerminan dari semboyan
“Tut Wuri Handayani”. Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara juga berpandangan bahwa
pengajaran harus memberi pengetahuan yang bermanfaat lahir maupun batin serta
dapat memberikan kebebasan atau kemerdekaan bagi diri anak.
Ki
Hadjar Dewantara memandang bahwa pendidikan anak itu sifatnya hanya sebatas
menuntun pertumbuhan dan perkembangan kekuatan-kekuatan kodrati yang dimiliki
anak, hal ini berlangsung melalui kegiatan bermain. Selanjutnya salah satu
teori pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang paling terkenal adalah teori trikon.
Ia mengemukakan kebudayaan wajib berlangsung secara terus menerue sebagai suatu
rantai yang makin lama makin bertambah panjang. Kebudayaan setiap angkatan
merupakan mata rantai penyambung mata rantai yang terdahulu dengan mata rantai
yang akan datang. Sehingga kebudayaan wajib berjalan tidak terputus atau harus
kontinyu, maju dan berkelanjutan.
Tiga
sikap perilaku dalam teori Ki Hadjar Dewantara, adalah kontinyu, konsentris,
konvergensi dan selanjutnya disingkat trikon.
Berorientasi pada tempat terlaksananya pendidikan anak usia dini khususnya dan
pendidikan pada umumnya, Ki Hadjar Dewantara membagi tiga komponen lingkungan
yang berperan dalam pendidikan anak, yaitu :
a. Lingkungan
keluarga, yaitu pendidikan yang pertama dan utama yang dilaksanakan oleh
anggota keluarga terutama ayah dan ibu.
b. Lingkungan
sekolah, pendidikan yang dilaksanakan setelah keluarga yaitu yang dilaksanakan
oleh guru.
c. Lingkungan
masyarakat, tidak dapat dipungkiri anak mempunyai dorongan untuk menjadi anggota
dalam lingkungan masyarakat dan lingkungan ini turut mendidik dan membentuk
karakter anak.
Ketiga
lingkungan ini oleh Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai Tri Pusat Pendidikan.
2.
Teori-teori
Bermain dan Perkembangan Anak Usia Dini Berdasarkan Sudut Pandang John Dewey,
Froebel, Maria Montessori, Piaget, Vygotsky
Beberapa
teori bermain dan perkembangan anak usia dini yang dikemukakan oleh
ilmuwan-ilmuwan barat sebagai berikut:
a.
John
Dewey (1859-1952)
Dewey adalah seorang
teoritikus pendidikan terkemuka abad ke-20 di seluruh universitas Amerika. Ia
dilahirkan pada 20 Oktober 1859 di Burlington, Vermont Amerika. Meyer merangkum
prinsip umum dalam pendidikan Dewey sebagai berikut (Meyer, 1949)
1) Pendidikan
itu adalah hidup, bukan sekedar persiapan untuk hidup.
2) Pendidikan
adalaha perkembangan. Selama perkembangan itu berlangsung, pendidikan juga
berlangsung terus.
3) Pendidikan
adalah rekonstruksi dari sekumpulan pengalaman secara terus menerus.
4) Pendidikan
adalah proses sosial, dan untuk merealisasikan hal itu sekolah harus berbentuk
komunitas demokratis.
Selanjutnya, Dewey
berpendapat bahwa sekolah merupakan model masyarakat demokratis dalam bentuk
kecil, dimana anak-anak dapat mempraktekan keterampilan yang diperlukan untuk
hidup di alam demokratis. Teori pendidikan Dewey mengerucut pada aliran
filsafat progresivisme yang difokuskan pada sekolah sebagai child-centered dan menekankan kurikulum
yang mengutamakan aktivitas (activity-centered
curriculum).
Prinsip-prinsip dasar
pendidikan yang progresif menurut Dewey secara singkat dirangkum oleh Kneller
sebagai berikut:
1) Pendidikan
itu seharusnya “kehidupan” itu sendiri bukan persiapan untuk hidup.
2) Belajar
dikaitkan secara langsung dengan minat anak.
3) Belajar
melalui pemecahan masalah (problem
solving) harus didahulukan daripada pengulangan mata pelajaran secara
ketat.
4) Peran
guru bukan untuk menunjukkan, tetapi untuk membimbing.
5) Sekolah
harus meningkatkna upaya kerjasama, bukan bersaing.
6) Hanya
cara demokratislah yang sesungguhnya dapat meningkatkan peran ide dan personalitas
anak secara bebas, karena itu diperlukan bagi kondisi pertumbuhan anak yang
benar.
Selanjutnya Dewey
menekankan sistem belajar melalui kegiatan dan pengajaran anak secara mendalam,
sama seperti halnya yang telah dianjurkan oleh Pestalozzi dan Proebel pada abad
ke 18. Teori-teori pendidikan Dewey dipopulerkan oelh Willian Heard melalui Progreive
Education Movement, yang sangat berpengaruh di Amerika maupun negara-negara
lain. Secara ringkas, teori-teori Dewey adalah sebagai berikut:
1) Anak
harus benar-benar tertarik pada kegiaatan, pengalaman atau pekerjaan yang
edukatif.
2) Anak
harus menemukan dan memecahkan kesukaran atau masalahnya sendiri.
3) Anak
harus menentukan cara pemecahan masalah yang dihadapi sendiri.
4) Anak
harus mencoba cara terbaik untuk memecahkan sesuatu melalui penerapan dalam
pengalaman, percobaan atau kehidupan sehari-hari.
b.
Froebel
(1782-1852)
Froebel adalah pencetus
ide awal sekaligus pelopor tunggal berdirinya Kindergarten atau Taman Kanak-kanak (TK) pertama di dunia. Froebel
dilahirkan pada tanggal 21 April 1762 di Jerman. Sekitar tahun 1800 Froebel
mendapat kesempatan untuk memasuki dunia pendidikan, yang selanjutnya
mengantarkan ia menjadi seorang pendidik tahun 1807-1810. Pada tahun 1816,
Froebel berkesempatan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang dimulai dengan
lima orang anak dan kemudian mencapai 56 orang. Dua orang yang membantu Froebel
adalah Middendorf dan Langenthal. Kegiatan pendidikannya sempat mundur dan
muncul lagi tahun 1837. Selanjutnya beliau mulai memberi nama sekolahnya dengan
sebutan Kindergarten.
Bagi Froebel, tujuan
pendidikan yang pertama adalah aktivitas dan produktivitas. Berdasarkan upaya
pencariannya, ia menemukan hukum perlawanan atau hukum pertentangan yang sama
dengan hukum theca, antithesa dan sinthesa (Aswardi Sudjud, 1977). Hukum ini
menyatakan bahwa perkembangan manusia selalu melalui tahap-tahap tertentu
yaitu: masa bayi (infancy), masa kanak-kaan kecil (chilhood), masa kanak-kanak
besar, masa muda (youth) dan masa dewasa (maturity). Namun setiap taha tidak
dibatasi oleh usia atau tahun tertentu karena tahap tersebut akan ditentukan
oleh kecenderungan pusat tertentu yang menguasai perkembangan lainnya. Froebel
sependapat dengan Pestalozzi bahwa anak-anak sejak lahir memiliki kemampuan
khusus masing-masing.
Pandangan pendidikan
Froebel yang utama adalah:
1) Pendidikan
bukan merupakan persiapan untuk hidup masa dewasa, tetapi lebih merupakan
pengalaman hidup yang akan menyatukan pikiran dengan tindakan;
2) Ekspresi
diri dan belajar dari kerja (seperti berkebun, pekerjaan jahitan, menenun,
musik, merancang, pekerjaan tangan dan kegaiatan lainnya);
3) Anak-anak
harus dibimbing sehingga mereka akan belajar melaui pengalaman dalam suatu
kelompok kerja sama serta akan membentuk sikap dan kebiasaan moral yang baik;
4) Spontanitas,
kegembiraan dan disiplin yang diberikan kepada anak-anak harus wajar dan
memberikan ciri terhadap sekolah tersebut maupun program-programnya;
5) Manusia
adalah bagian dari alam dan tunduk kepada hukum alam.
c.
Maria
Montessori (1870-1952)
Montessori lahir di
Italia pada tahun 1870, tahun 1986 ia menamatkan pendidikannya sebagai dokter.
Ia adalah dokter pertama yang mencurahkan banyak perhatian pada anak-anak
tunanetra. Montessori mengembangkan alat-alat belajar yang memungkinkan anak
untuk mengeksplorasi lingkungan. Pendidikan Montessori juga mencakup pendidikan
jasmani, berkebun dan belajar tentang alam. Pandangan Montessori yang paling
terkenal adalah bahwa dalam pengembangan abak terdapat masa peka, yaitu masa
yang ditandai dengan bgeitu tertariknya anak terhadap suatu objek yang lainnya.
Montessori memandang
guru-guru di Taman Kanak-kanak adalah pemimpin dan pembimbing. Tugas mereka
tidak terletak pada bidang pemberian pelajaran, tetapi memimpin dan membimbing
anak dalam perkembangan jiwanya untuk menguasai suatu pekerjaan atau ilmu. Di sekolah
Montessori tidak ada pembagian dalam kelas-kelas, seperti yang lazim pada
sekolah biasa. Ruangan belajar mirip dengan kamar di rumah, ada meja dan kursi,
jambangan bunga di atas meja, papan tulis yang rendah letaknya dan bak tempat
buat cuci tangan.
d.
Jean
Piaget
Jean Piaget dilahirkan
di Neuchatel, sebuah kota universitas kecil di Swiss, ayahnya seorang sejarawan
abad pertengahan di universitas tersebut. Sejak kecil Piaget menunjukkan
kemampuan sebagai ilmuwan kecil yang sangat menjanjikan di masa depan. Hal ini
ditunjukkan ketika usia 10 tahu, Piaget menerbitkan sebuah artikel tentang
burung albino yang dilihatnya di taman. Pada usia 15 tahun, Piaget mengalami
krisis intelektual yang membuatnya sadar bahwa keyakinan agama dan filosofinya
kekurangan fondasi ilmiah.
Selanjutnya Piaget
memutuskan untuk mempelajari anak pada tahun 1920 ketika bekerja di
Laboratorium Binet di Paris. Di sana tugasnya adalah mengkonstruksi tes
kepandaian bagi anak-anak. Awalnya dia merasakan pekerjaannya sebagai aktivitas
yang sangat membosankan. Ia tidak berminat memberikan skor jawaban yang benar
atau salah pada anak-anak, sperti yang dituntut oleh tes kepandaian tersebut.
Namun beberapa saat kemudian, Piaget menjadi tertarik terhadap respon anak-anak
kecil tersebut, khususnya terhadap jawaban-jawaban anak yang keliru. Piaget
berpendapat bahwa anak kecil mungkin tidak “lebih bodoh” dari pada anak-anak
yang lebih besar atau orang dewasa, hanya karena anak berpikir dengan cara yang
seluruhnya berbeda dengan orang dewasa (Ginsburg dan Opper, 1988).
e.
Lev
Semyonovich Vygotsky
Dia adalah tokoh
penting dalam psikologi yang berpengaruh besar pada pendidikan anak. Keluarga
Vygotsky memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh keluarga lain pada umumnya,
yakni senang dengan percakapan yang menarik. Beberapa teori psikologi Vygotsky
yang paling terkenal adalah ujaran, egosentris dan ucapan dalam hati.
1) Ujaran
Menurut Vygotsky,
satu-satunya alat psikologi yang paling penting adalah ujaran. Ujaran
membebaskan pikiran dan perhatian pada perseptual langsung. Vygotsky mengatakan
bahwa kemampuan anak untuk terlibat dialog batin anak berjalan dalam tiga
tahap:
a) Tahap
awal, yaitu acuan kepada objek yang tidak nyata berlangsung dalam interaksi
anak-anak dengan orang lain.
b) Tahap
dua, pada usia tiga tahun atau lebih, seorang anak mulai mengarahkan kepada
diri sendiri
c) Tahap
ketiga, pada usia 8 tahun atau lebih, ujaran pada hati anak semakin tidak
terdengar.
2) Egosentris
Dalam proses
penginternalisasian ujaran sosial (social
speech), anak-anak melewati sebuha fase dimana mereka menghabiskan sejumlah
waktu untuk berkata keras-keras pada diri sendiri. Orang pertama yang membahas
ujaran seperti adalah Piaget, ia menyebuthal ini sebagai ujaran egosentris (egosentrical speech)
3) Ucapan
dalam Hati
3.
Teori-teori
Bermain dan Perkembangan Anak TK Berdasarkan Pandangan Abdullah Nasheh Ulwah,
Ibnu Qoyyim Al-Jauzyyah (Filsuf Muslim)
a.
Pandangan
Abdullah Nasheh Ulwan
Abdullah Nasheh Ulwan
salah satu tokoh pemikir Islam yang memiliki karya brilian di bidang
pendidikan. Salah satu dari beberapa karya tersebut adalah kitab Tarbiyah al-Aulad Fi-al-Islam,
(Pendidikan Anak dalam Islam). Ia dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah
Qadhi Askar yang terletak di Halab, Suriah pada tahun 1928 M. Pemikiran
pendidikan anak usia dini menurut Nasheh Ulwan dapat dirangkum ke dalam lima
pokok pikiran, sebagai berikut:
1) Mendidik
dengan Keteladanan (al-Taarbiyah bi
al-Qudwah)
Pendidikan melalui
bermain dengan metode keteladanan merupakan metode paling efektif untuk
mengembangkan kecerdasan anak baik emosional, moral, spiritual dan etos
sosialnya.
2) Mendidik
dengan Adat Kebiasaan (al-Taarbiyah bi
al-Adah)
Bermain dalam penanaman
pembiasaan dalam pembelajaran terhadap anak berfungsi untuk menumbuhkan serta
mengembangkan kecerdasan jiwanya dalam menemukan nilai-nilai tauhid yang murni,
budi pekerti yang mulia, rohani yang luhur dan etika religi yang benar. Pada
dasarnya setiap anak dilahirkan dalam keadaan yang fitrah (suci). Ada dua
faktor yang dapat mengembangkan kepribadian anak yakni faktor lingkungan sosial
(sekolah dan lingkungan lainnya).
3) Mendidik
dengan nasihat (al-Taarbiyah bil
al-Mau’idzah)
Nasheh Ulwan
berpendapat bahwa metode tausiyah (nasihat) dapat digunakan untuk mendidik
akidah anak, termasuk mempersiapkan anak yang baik secara moral, emosional,
maupun sosial.
4) Pendidikan
dengan Pengawasan (al-Taarbiyah bil
al-Muldhazah)
Pendidikan melalui kegiatan bermain dengan perhatian
dan pengawasan adalah mencurahkan perhatian penuh dan mengikuti perkembangan
aspek akidah dan moral anak, memantau kesiapan mental dan sosial anak serta
mendampingi anak dalam berbagai situasi lingkungan sosialnya.
5) Metode
Pemberian Hukuman (al-Taarbiyah bil
al-Uqubah)
Ada dua istilah yang muncul dalam masalah hukuman
dalam Islam yakni hudud dan ta’zir. Hudud adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syariat yang wajib
dilaksanakan karena Allah. Ta’zir
adalah hukuman yang ditentukan oleh Allah untuk setiap perbuatan maksiat yang
tidak terdapat had atau kairah. Sebagaimana hudud, ta’zir bertujuan untuk memberikan pelajaran terhadap orang
lain demi kemaslahatan umat (Nasheh Ulwan, 1990).
Dalam hal ini Nasheh Ulwan menjelaskan bahwa
penerapan hukuman terhadap anak diperbolehkan dengan beberapa syarat sebagai
berikut:
1) Bersikap
lemah lembut dan kasih sayang dalam membenahi kesalahan anak;
2) Menerapkan
hukuman terhadap anak secara bertahap dari yang paling ringan hingga yang
paling keras;
3) Menunjukkan
kesalahan anak dengan berbagai pengarahan;
4) Menunjukkan
kesalahan anak dengan memberikan isyarat;
5) Menunjukka
kesalahan anak tidak dengan kecaman;
6) Tidak
menunjukkan kesalahan anak dengan memutuskan hubungan (tidak mengacuhkannya);
7) Menunjukkan
kesalahan dengan memukulnya.
Hukuman dalam pendidikan anak merupakan cara yang
ditempuh untuk membuat anak jera sehingga mampu menghentikan perilaku buruknya.
b. Pandangan
Ibn Qayyim Al-Jauziyyah
Ibn Qayyim Al-Jauziyyah mempunyai padangan-pandangan
yang brilian tentang pentingnya masa awal perkembangan anak, Ibn Qayyim
Al-Jauziyyah sebagaimana dikatakan oleh Usman Nadjati adalah seorang ulama
besar yang pemikiran-pemikirannya banyak berkaitan dengan psikologi dan
pendidikan, termasuk di dalamnya tentang bagaimana anak-anak yang suci, bersih
dan keberadaannya diamanatkan oleh Allah SWT. Ibn Qayyim Al-Jauziyyah memandang
anak didik sebagai makhluk beradab dan berakhlak, menurutnya di antara
adab-adab dan akhlak yang harus diperhatikan oleh anak adalah adab yang
berhubungan dengan kepribadiannya. Adab kepada ilmu yang sedang dicarinya dan
adab yang berhubungan dengan gurunya. Ia juga menegaskan bahwa anak yang baik
adalah anak yang memiliki tekad kuat untuk meraih kesempurnaan ilmunya. Kata
kuncinya adalah hendaknya tidak melakukan kemaksiatan dan senantiasa
menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan, karena yang demikian itu
akan membukakan beberapa pintu ilmu, menjernihkan hati dan memudahkan cahaya
ilmu yang akan menyinari hatinya (Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, 1961).
Ibn Qayyim Al-Jauziyyah berpandangan bahwa
kedisiplinan perlu ditanamkan pada anak sejak dini. Hal ini dapat dimanifestasikan
dalam kegiatan ank sehari-hari, seperti: disiplin dalam waktu, etika makan,
etika bicara, cara mengajukan pertanyaan yang baik dan secara umum dalam
aspek-aspek yang terjadi dalam pergaulan. Anak usia dini (usia emas) adalah
penuh dengan rasa ingin tahu dan selalu mau bertanya. Dalam pandangan Ibn
Qayyim Al-Jauziyyah anak-anak harus dibiarkan untuk bertanya karena menurutnya
pertanyaan memiliki sikap ilmiah yang besar. Ibn Qayyim Al-Jauziyyah
mengatakan, “Kunci adalah pertanyaan yang tepat dan mendengarkan jawaban dan
penjelasan dengan cara yang baik”.
Dalam konteks pendidikan anak usia dini, pandangan
Ibn Qayyim Al-Jauziyyah ini diarahkan pada komitmen yang besar dari guru dan
orangtua agar dapat memberi perhatiannya terhadap perkembangan anak dalam
aspek-aspek yang berhubungan dengan pengetahuan dan keilmuan sejak dini. Beliau
memandang tujuan pendidikan yang utama adalah menjaga (kesucian) fitrah anak
dan melindunginya agar tidak jatuh pada penyimpangan seta mewujudkan dalam
dirinya ubudiyah (penghambaan) kepada Allah SWT (Ibn Qayyim Al-Jauziyyah,
1961). Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara:
1) Menanamkan
akhlak mulia dalam diri anak didik dan menjauhkannya dari akhlak buruk.
2) Menciptakan
kebahagiaan dalam dirinya.
3) Selalu
memperhatikannya baik ketika mereka sednag tidur maupun ketika sedang
berkomunikasi (berbicara).
4) Mengarahkan
cara berkomunikasi dengan orang lain.
5) Memperhatikan
cara berpakaian yang baik.
6) Mengarahkan
bakat, mengembangkan kemampuan dasar anak, menyertainya dengan pendidikan agama
agar tidak terjerumus di kemudian hari.
Dalam konteks PAUD, Ibn Qayyim Al-Jauziyyah
menyoroti pentingnya orangtua dan pendidik untuk memperhatikan pendidikan anak
dalam berbagai aspek sehingga anak menjadi pribadi yang baik dalam hal mental,
intelektual dan spiritual. Dalam kitabnya Tuhfatul Maudud bil akhkamil Maulud.
Ibn Qayyim Al-Jauziyyah memfokuskan beberapa tujuan pendidikan anak usia dini
sebagai berikut:
1) Menanamkan
cinta kepada Allah dan Rosul pada diri anak semenjak usia dini sehingga pada
saat dewasa telah melekat dan menjadi bagian penting dalam dirinya.
2) Meningkatkan
kesehatan akal dengan menjauhkan setiap sesuatu yang menakutkan dan mengagetkan
mereka karena hal itu akan berpengaruh pada akalnya.
3) Meperhatikan
masalah akhlak dan membiasakan anak dengan kata-kata yang baik dan indah,
terpuji, mencintai kebaikan dan jera terhadap keburukan.
4) Menjaga
serta mengembangkan kemampuan, kecerdasaan dan jiwa anak sehingga menjadi sosok
yang mempunyai jati diri dan kepribadian yang kokoh (Bahron Fthin, 2006).
Pandangan Ibn Qayyim
Al-Jauziyyah tentang tujuan pendidikan di atas berimplikasi pada pentingnya
muatan akidah dan akhlak dalam pendidikan anak usia dini.
0 komentar:
Posting Komentar