Selasa, 14 Maret 2017


TEORI BERMAIN DAN PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI BERDASARKAN KONSEP BARAT, TIMUR DAN AGAMA

  1. Teori-teori Bermain dan Perkembangan Anak Usia Dini Berdasarkan Perspektif Ki Hajar Dewantara
       Banyak pakar pendidikan di Indonesia yang mempunyai filosofi tentang pendidikan anak usia dini, diantaranya Ki Hadjar Dewantara, KH. Hasyim Asy’arie, KH. Ahmad Dahlan, HOS Cokroaminoto. Namun dari sekian banyak pakar teresbut, pemikiran Ki Hadjar Dewantara dipandang lebih representatif, oleh karena itu pembahasan di sini hanya mengemukanan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan anak usia dini. Ki Hadjar Dewantara adalah pionir Pendidikan Nasional yang berasal dari keluarga bangsawan Yogyakarta. Beliau lahir pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama RM. Suwardi Suryaningrat, setelah berumur 40 tahun tepatnya tanggal 25 Februari 1928, ia berganti nama dengan sebutan Ki Hadjar Dewantara. Tentang pendidikan anak usia dini Ki Hadjar Dewantara memandang bahwa bermain bagi anak merupakan kodrat alam yang memiliki pembawaan masing-masing serta kemerdekaan untuk berbuat serta mengatur dirinya sendiri.
Guru TK hanya boleh memberi bantuan jika anak menghadapi hambatan yang cukup berat dan tidak dapat diselesaikan. Hal tersebut merupakan cerminan dari semboyan “Tut Wuri Handayani”. Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara juga berpandangan bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang bermanfaat lahir maupun batin serta dapat memberikan kebebasan atau kemerdekaan bagi diri anak.
Ki Hadjar Dewantara memandang bahwa pendidikan anak itu sifatnya hanya sebatas menuntun pertumbuhan dan perkembangan kekuatan-kekuatan kodrati yang dimiliki anak, hal ini berlangsung melalui kegiatan bermain. Selanjutnya salah satu teori pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang paling terkenal adalah teori trikon. Ia mengemukakan kebudayaan wajib berlangsung secara terus menerue sebagai suatu rantai yang makin lama makin bertambah panjang. Kebudayaan setiap angkatan merupakan mata rantai penyambung mata rantai yang terdahulu dengan mata rantai yang akan datang. Sehingga kebudayaan wajib berjalan tidak terputus atau harus kontinyu, maju dan berkelanjutan.
Tiga sikap perilaku dalam teori Ki Hadjar Dewantara, adalah kontinyu, konsentris, konvergensi dan selanjutnya disingkat trikon. Berorientasi pada tempat terlaksananya pendidikan anak usia dini khususnya dan pendidikan pada umumnya, Ki Hadjar Dewantara membagi tiga komponen lingkungan yang berperan dalam pendidikan anak, yaitu :
a.       Lingkungan keluarga, yaitu pendidikan yang pertama dan utama yang dilaksanakan oleh anggota keluarga terutama ayah dan ibu.
b.      Lingkungan sekolah, pendidikan yang dilaksanakan setelah keluarga yaitu yang dilaksanakan oleh guru.
c.       Lingkungan masyarakat, tidak dapat dipungkiri anak mempunyai dorongan untuk menjadi anggota dalam lingkungan masyarakat dan lingkungan ini turut mendidik dan membentuk karakter anak.
Ketiga lingkungan ini oleh Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai Tri Pusat Pendidikan.

2.      Teori-teori Bermain dan Perkembangan Anak Usia Dini Berdasarkan Sudut Pandang John Dewey, Froebel, Maria Montessori, Piaget, Vygotsky
Beberapa teori bermain dan perkembangan anak usia dini yang dikemukakan oleh ilmuwan-ilmuwan barat sebagai berikut:
a.      John Dewey (1859-1952)
Dewey adalah seorang teoritikus pendidikan terkemuka abad ke-20 di seluruh universitas Amerika. Ia dilahirkan pada 20 Oktober 1859 di Burlington, Vermont Amerika. Meyer merangkum prinsip umum dalam pendidikan Dewey sebagai berikut (Meyer, 1949)
1)      Pendidikan itu adalah hidup, bukan sekedar persiapan untuk hidup.
2)      Pendidikan adalaha perkembangan. Selama perkembangan itu berlangsung, pendidikan juga berlangsung terus.
3)      Pendidikan adalah rekonstruksi dari sekumpulan pengalaman secara terus menerus.
4)      Pendidikan adalah proses sosial, dan untuk merealisasikan hal itu sekolah harus berbentuk komunitas demokratis.
Selanjutnya, Dewey berpendapat bahwa sekolah merupakan model masyarakat demokratis dalam bentuk kecil, dimana anak-anak dapat mempraktekan keterampilan yang diperlukan untuk hidup di alam demokratis. Teori pendidikan Dewey mengerucut pada aliran filsafat progresivisme yang difokuskan pada sekolah sebagai child-centered dan menekankan kurikulum yang mengutamakan aktivitas (activity-centered curriculum).
Prinsip-prinsip dasar pendidikan yang progresif menurut Dewey secara singkat dirangkum oleh Kneller sebagai berikut:
1)      Pendidikan itu seharusnya “kehidupan” itu sendiri bukan persiapan untuk hidup.
2)      Belajar dikaitkan secara langsung dengan minat anak.
3)      Belajar melalui pemecahan masalah (problem solving) harus didahulukan daripada pengulangan mata pelajaran secara ketat.
4)      Peran guru bukan untuk menunjukkan, tetapi untuk membimbing.
5)      Sekolah harus meningkatkna upaya kerjasama, bukan bersaing.
6)      Hanya cara demokratislah yang sesungguhnya dapat meningkatkan peran ide dan personalitas anak secara bebas, karena itu diperlukan bagi kondisi pertumbuhan anak yang benar.
Selanjutnya Dewey menekankan sistem belajar melalui kegiatan dan pengajaran anak secara mendalam, sama seperti halnya yang telah dianjurkan oleh Pestalozzi dan Proebel pada abad ke 18. Teori-teori pendidikan Dewey dipopulerkan oelh Willian Heard melalui Progreive Education Movement, yang sangat berpengaruh di Amerika maupun negara-negara lain. Secara ringkas, teori-teori Dewey adalah sebagai berikut:
1)      Anak harus benar-benar tertarik pada kegiaatan, pengalaman atau pekerjaan yang edukatif.
2)      Anak harus menemukan dan memecahkan kesukaran atau masalahnya sendiri.
3)      Anak harus menentukan cara pemecahan masalah yang dihadapi sendiri.
4)      Anak harus mencoba cara terbaik untuk memecahkan sesuatu melalui penerapan dalam pengalaman, percobaan atau kehidupan sehari-hari.
b.      Froebel (1782-1852)
Froebel adalah pencetus ide awal sekaligus pelopor tunggal berdirinya Kindergarten atau Taman Kanak-kanak (TK) pertama di dunia. Froebel dilahirkan pada tanggal 21 April 1762 di Jerman. Sekitar tahun 1800 Froebel mendapat kesempatan untuk memasuki dunia pendidikan, yang selanjutnya mengantarkan ia menjadi seorang pendidik tahun 1807-1810. Pada tahun 1816, Froebel berkesempatan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang dimulai dengan lima orang anak dan kemudian mencapai 56 orang. Dua orang yang membantu Froebel adalah Middendorf dan Langenthal. Kegiatan pendidikannya sempat mundur dan muncul lagi tahun 1837. Selanjutnya beliau mulai memberi nama sekolahnya dengan sebutan Kindergarten.
Bagi Froebel, tujuan pendidikan yang pertama adalah aktivitas dan produktivitas. Berdasarkan upaya pencariannya, ia menemukan hukum perlawanan atau hukum pertentangan yang sama dengan hukum theca, antithesa dan sinthesa (Aswardi Sudjud, 1977). Hukum ini menyatakan bahwa perkembangan manusia selalu melalui tahap-tahap tertentu yaitu: masa bayi (infancy), masa kanak-kaan kecil (chilhood), masa kanak-kanak besar, masa muda (youth) dan masa dewasa (maturity). Namun setiap taha tidak dibatasi oleh usia atau tahun tertentu karena tahap tersebut akan ditentukan oleh kecenderungan pusat tertentu yang menguasai perkembangan lainnya. Froebel sependapat dengan Pestalozzi bahwa anak-anak sejak lahir memiliki kemampuan khusus masing-masing.
Pandangan pendidikan Froebel yang utama adalah:
1)      Pendidikan bukan merupakan persiapan untuk hidup masa dewasa, tetapi lebih merupakan pengalaman hidup yang akan menyatukan pikiran dengan tindakan;
2)      Ekspresi diri dan belajar dari kerja (seperti berkebun, pekerjaan jahitan, menenun, musik, merancang, pekerjaan tangan dan kegaiatan lainnya);
3)      Anak-anak harus dibimbing sehingga mereka akan belajar melaui pengalaman dalam suatu kelompok kerja sama serta akan membentuk sikap dan kebiasaan moral yang baik;
4)      Spontanitas, kegembiraan dan disiplin yang diberikan kepada anak-anak harus wajar dan memberikan ciri terhadap sekolah tersebut maupun program-programnya;
5)      Manusia adalah bagian dari alam dan tunduk kepada hukum alam.

c.       Maria Montessori (1870-1952)
Montessori lahir di Italia pada tahun 1870, tahun 1986 ia menamatkan pendidikannya sebagai dokter. Ia adalah dokter pertama yang mencurahkan banyak perhatian pada anak-anak tunanetra. Montessori mengembangkan alat-alat belajar yang memungkinkan anak untuk mengeksplorasi lingkungan. Pendidikan Montessori juga mencakup pendidikan jasmani, berkebun dan belajar tentang alam. Pandangan Montessori yang paling terkenal adalah bahwa dalam pengembangan abak terdapat masa peka, yaitu masa yang ditandai dengan bgeitu tertariknya anak terhadap suatu objek yang lainnya.
Montessori memandang guru-guru di Taman Kanak-kanak adalah pemimpin dan pembimbing. Tugas mereka tidak terletak pada bidang pemberian pelajaran, tetapi memimpin dan membimbing anak dalam perkembangan jiwanya untuk menguasai suatu pekerjaan atau ilmu. Di sekolah Montessori tidak ada pembagian dalam kelas-kelas, seperti yang lazim pada sekolah biasa. Ruangan belajar mirip dengan kamar di rumah, ada meja dan kursi, jambangan bunga di atas meja, papan tulis yang rendah letaknya dan bak tempat buat cuci tangan.

d.      Jean Piaget
Jean Piaget dilahirkan di Neuchatel, sebuah kota universitas kecil di Swiss, ayahnya seorang sejarawan abad pertengahan di universitas tersebut. Sejak kecil Piaget menunjukkan kemampuan sebagai ilmuwan kecil yang sangat menjanjikan di masa depan. Hal ini ditunjukkan ketika usia 10 tahu, Piaget menerbitkan sebuah artikel tentang burung albino yang dilihatnya di taman. Pada usia 15 tahun, Piaget mengalami krisis intelektual yang membuatnya sadar bahwa keyakinan agama dan filosofinya kekurangan fondasi ilmiah.
Selanjutnya Piaget memutuskan untuk mempelajari anak pada tahun 1920 ketika bekerja di Laboratorium Binet di Paris. Di sana tugasnya adalah mengkonstruksi tes kepandaian bagi anak-anak. Awalnya dia merasakan pekerjaannya sebagai aktivitas yang sangat membosankan. Ia tidak berminat memberikan skor jawaban yang benar atau salah pada anak-anak, sperti yang dituntut oleh tes kepandaian tersebut. Namun beberapa saat kemudian, Piaget menjadi tertarik terhadap respon anak-anak kecil tersebut, khususnya terhadap jawaban-jawaban anak yang keliru. Piaget berpendapat bahwa anak kecil mungkin tidak “lebih bodoh” dari pada anak-anak yang lebih besar atau orang dewasa, hanya karena anak berpikir dengan cara yang seluruhnya berbeda dengan orang dewasa (Ginsburg dan Opper, 1988).




e.       Lev Semyonovich Vygotsky
Dia adalah tokoh penting dalam psikologi yang berpengaruh besar pada pendidikan anak. Keluarga Vygotsky memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh keluarga lain pada umumnya, yakni senang dengan percakapan yang menarik. Beberapa teori psikologi Vygotsky yang paling terkenal adalah ujaran, egosentris dan ucapan dalam hati.
1)      Ujaran
Menurut Vygotsky, satu-satunya alat psikologi yang paling penting adalah ujaran. Ujaran membebaskan pikiran dan perhatian pada perseptual langsung. Vygotsky mengatakan bahwa kemampuan anak untuk terlibat dialog batin anak berjalan dalam tiga tahap:
a)      Tahap awal, yaitu acuan kepada objek yang tidak nyata berlangsung dalam interaksi anak-anak dengan orang lain.
b)      Tahap dua, pada usia tiga tahun atau lebih, seorang anak mulai mengarahkan kepada diri sendiri
c)      Tahap ketiga, pada usia 8 tahun atau lebih, ujaran pada hati anak semakin tidak terdengar.
2)      Egosentris
Dalam proses penginternalisasian ujaran sosial (social speech), anak-anak melewati sebuha fase dimana mereka menghabiskan sejumlah waktu untuk berkata keras-keras pada diri sendiri. Orang pertama yang membahas ujaran seperti adalah Piaget, ia menyebuthal ini sebagai ujaran egosentris (egosentrical speech)
3)      Ucapan dalam Hati





3.      Teori-teori Bermain dan Perkembangan Anak TK Berdasarkan Pandangan Abdullah Nasheh Ulwah, Ibnu Qoyyim  Al-Jauzyyah (Filsuf Muslim)
a.      Pandangan Abdullah Nasheh Ulwan
Abdullah Nasheh Ulwan salah satu tokoh pemikir Islam yang memiliki karya brilian di bidang pendidikan. Salah satu dari beberapa karya tersebut adalah kitab Tarbiyah al-Aulad Fi-al-Islam, (Pendidikan Anak dalam Islam). Ia dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah Qadhi Askar yang terletak di Halab, Suriah pada tahun 1928 M. Pemikiran pendidikan anak usia dini menurut Nasheh Ulwan dapat dirangkum ke dalam lima pokok pikiran, sebagai berikut:
1)      Mendidik dengan Keteladanan (al-Taarbiyah bi al-Qudwah)
Pendidikan melalui bermain dengan metode keteladanan merupakan metode paling efektif untuk mengembangkan kecerdasan anak baik emosional, moral, spiritual dan etos sosialnya.
2)      Mendidik dengan Adat Kebiasaan (al-Taarbiyah bi al-Adah)
Bermain dalam penanaman pembiasaan dalam pembelajaran terhadap anak berfungsi untuk menumbuhkan serta mengembangkan kecerdasan jiwanya dalam menemukan nilai-nilai tauhid yang murni, budi pekerti yang mulia, rohani yang luhur dan etika religi yang benar. Pada dasarnya setiap anak dilahirkan dalam keadaan yang fitrah (suci). Ada dua faktor yang dapat mengembangkan kepribadian anak yakni faktor lingkungan sosial (sekolah dan lingkungan lainnya).
3)      Mendidik dengan nasihat (al-Taarbiyah bil al-Mau’idzah)
Nasheh Ulwan berpendapat bahwa metode tausiyah (nasihat) dapat digunakan untuk mendidik akidah anak, termasuk mempersiapkan anak yang baik secara moral, emosional, maupun sosial.
4)      Pendidikan dengan Pengawasan (al-Taarbiyah bil al-Muldhazah)
Pendidikan melalui kegiatan bermain dengan perhatian dan pengawasan adalah mencurahkan perhatian penuh dan mengikuti perkembangan aspek akidah dan moral anak, memantau kesiapan mental dan sosial anak serta mendampingi anak dalam berbagai situasi lingkungan sosialnya.
5)      Metode Pemberian Hukuman (al-Taarbiyah bil al-Uqubah)
Ada dua istilah yang muncul dalam masalah hukuman dalam Islam yakni hudud dan ta’zir. Hudud adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syariat yang wajib dilaksanakan karena Allah. Ta’zir adalah hukuman yang ditentukan oleh Allah untuk setiap perbuatan maksiat yang tidak terdapat had atau kairah. Sebagaimana hudud, ta’zir bertujuan untuk memberikan pelajaran terhadap orang lain demi kemaslahatan umat (Nasheh Ulwan, 1990).
Dalam hal ini Nasheh Ulwan menjelaskan bahwa penerapan hukuman terhadap anak diperbolehkan dengan beberapa syarat sebagai berikut:
1)      Bersikap lemah lembut dan kasih sayang dalam membenahi kesalahan anak;
2)      Menerapkan hukuman terhadap anak secara bertahap dari yang paling ringan hingga yang paling keras;
3)      Menunjukkan kesalahan anak dengan berbagai pengarahan;
4)      Menunjukkan kesalahan anak dengan memberikan isyarat;
5)      Menunjukka kesalahan anak tidak dengan kecaman;
6)      Tidak menunjukkan kesalahan anak dengan memutuskan hubungan (tidak mengacuhkannya);
7)      Menunjukkan kesalahan dengan memukulnya.
Hukuman dalam pendidikan anak merupakan cara yang ditempuh untuk membuat anak jera sehingga mampu menghentikan perilaku buruknya.
b.      Pandangan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah
Ibn Qayyim Al-Jauziyyah mempunyai padangan-pandangan yang brilian tentang pentingnya masa awal perkembangan anak, Ibn Qayyim Al-Jauziyyah sebagaimana dikatakan oleh Usman Nadjati adalah seorang ulama besar yang pemikiran-pemikirannya banyak berkaitan dengan psikologi dan pendidikan, termasuk di dalamnya tentang bagaimana anak-anak yang suci, bersih dan keberadaannya diamanatkan oleh Allah SWT. Ibn Qayyim Al-Jauziyyah memandang anak didik sebagai makhluk beradab dan berakhlak, menurutnya di antara adab-adab dan akhlak yang harus diperhatikan oleh anak adalah adab yang berhubungan dengan kepribadiannya. Adab kepada ilmu yang sedang dicarinya dan adab yang berhubungan dengan gurunya. Ia juga menegaskan bahwa anak yang baik adalah anak yang memiliki tekad kuat untuk meraih kesempurnaan ilmunya. Kata kuncinya adalah hendaknya tidak melakukan kemaksiatan dan senantiasa menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan, karena yang demikian itu akan membukakan beberapa pintu ilmu, menjernihkan hati dan memudahkan cahaya ilmu yang akan menyinari hatinya (Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, 1961).
Ibn Qayyim Al-Jauziyyah berpandangan bahwa kedisiplinan perlu ditanamkan pada anak sejak dini. Hal ini dapat dimanifestasikan dalam kegiatan ank sehari-hari, seperti: disiplin dalam waktu, etika makan, etika bicara, cara mengajukan pertanyaan yang baik dan secara umum dalam aspek-aspek yang terjadi dalam pergaulan. Anak usia dini (usia emas) adalah penuh dengan rasa ingin tahu dan selalu mau bertanya. Dalam pandangan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah anak-anak harus dibiarkan untuk bertanya karena menurutnya pertanyaan memiliki sikap ilmiah yang besar. Ibn Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan, “Kunci adalah pertanyaan yang tepat dan mendengarkan jawaban dan penjelasan dengan cara yang baik”.
Dalam konteks pendidikan anak usia dini, pandangan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah ini diarahkan pada komitmen yang besar dari guru dan orangtua agar dapat memberi perhatiannya terhadap perkembangan anak dalam aspek-aspek yang berhubungan dengan pengetahuan dan keilmuan sejak dini. Beliau memandang tujuan pendidikan yang utama adalah menjaga (kesucian) fitrah anak dan melindunginya agar tidak jatuh pada penyimpangan seta mewujudkan dalam dirinya ubudiyah (penghambaan) kepada Allah SWT (Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, 1961). Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara:
1)      Menanamkan akhlak mulia dalam diri anak didik dan menjauhkannya dari akhlak buruk.
2)      Menciptakan kebahagiaan dalam dirinya.
3)      Selalu memperhatikannya baik ketika mereka sednag tidur maupun ketika sedang berkomunikasi (berbicara).
4)      Mengarahkan cara berkomunikasi dengan orang lain.
5)      Memperhatikan cara berpakaian yang baik.
6)      Mengarahkan bakat, mengembangkan kemampuan dasar anak, menyertainya dengan pendidikan agama agar tidak terjerumus di kemudian hari.
Dalam konteks PAUD, Ibn Qayyim Al-Jauziyyah menyoroti pentingnya orangtua dan pendidik untuk memperhatikan pendidikan anak dalam berbagai aspek sehingga anak menjadi pribadi yang baik dalam hal mental, intelektual dan spiritual. Dalam kitabnya Tuhfatul Maudud bil akhkamil Maulud. Ibn Qayyim Al-Jauziyyah memfokuskan beberapa tujuan pendidikan anak usia dini sebagai berikut:
1)      Menanamkan cinta kepada Allah dan Rosul pada diri anak semenjak usia dini sehingga pada saat dewasa telah melekat dan menjadi bagian penting dalam dirinya.
2)      Meningkatkan kesehatan akal dengan menjauhkan setiap sesuatu yang menakutkan dan mengagetkan mereka karena hal itu akan berpengaruh pada akalnya.
3)      Meperhatikan masalah akhlak dan membiasakan anak dengan kata-kata yang baik dan indah, terpuji, mencintai kebaikan dan jera terhadap keburukan.
4)      Menjaga serta mengembangkan kemampuan, kecerdasaan dan jiwa anak sehingga menjadi sosok yang mempunyai jati diri dan kepribadian yang kokoh (Bahron Fthin, 2006).
Pandangan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah tentang tujuan pendidikan di atas berimplikasi pada pentingnya muatan akidah dan akhlak dalam pendidikan anak usia dini.

0 komentar:

Posting Komentar